• Kembali ke Website Pertuni - www.pertuni.or.id
  • Testimony
  • Berita Tunanetra
  • Blog
  • World Blind Union Publications


  • Senin, 01 Juni 2009

    Re: [mitra-jaringan] Re: Indonesia asks disabled pedestrians to wear signs

    Rekan -rekan, saya kira kita bisa melihat masalah ini dari beberapa sisi. Kalau kita mau melihat tujuannya, positif thinking, mungkin saja maksudnya adalah untuk keamanan dan kenyamanan para penca di dalam perjalanan. Tapi ini kan baru asumsi, kita tidak pernah mengerti apa maksud si pengusul, baik dari pemerintah sebagai pengusul undang-undang, maupun dari anggota dewan yangkemudian mengesahkannya. Tapi saya kira, kita mesti melihat aspek yang lebih luas dari sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan negara dalam rangka mengakomodasi kebutuhan rakyatnya. Ketika memang alasannya adalah dalam rangka menciptakan keamanan dan kenyamanan para penca (anggap saja begitu) tapi di sisi lain, kebijakan ini juga mengandung unsur "pelemahan" atau "pencederaan" terhadap jati diri seseorang, karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau jadi cacat. Artinya adalah, bahwa setiap kebijakan yang dibuat, hendaknya memperhatikan banyak hal, buat apa satu kebijakan dibuat, tapi di sisi lain menimbulkan perendahan terhadap martabat orang lain khususnya penyandang cacat? Apa kalau lihat si Jaka atau si Aris, atau si Dimas, atau si Tolhas pakai tongkat masih harus diperjelas lagi kalau orang-orang itu memang cacat? Apa lagi kalau sampai pakai menyinggung mimik muka untuk mengganti identitas rekan rekan dengan down-syndrom wah-wah... itu betul-betul stereotyping yang mengandung pelecehan... . Satu hal lagi yang saya sesalkan adalah, pembuatan tanda-tanda khusus apa lagi yang melekat di badan semacam itu juga akan memperkuat stereotype negatif terhadap penyandang cacat, yang sebenarnya hingga saat ini saja di Indonesia belum hilang. penandaan seperti ini akan membuat stereotype bahwa penyandang cacat itu identik dengan lemah menjadi akan semakin terkonfirmasi. Sejauh yang saya tahu, penandaan di badan semisal dalam bentuk gelang memang dapat diberlakukan pada kasus orang-orang dengan penyakit tertentu, yang memungkinkan terjadinya kegawatan/kekambuha n di tempat umum, semisal karena suatu penyakit atau kelainan darah, seseorang harus mengenakan tanda, supaya bila terjadi kecelakaan atau emergency, orang yang menemukan atau fihak rumah sakit, bisa mengambil tindakan yang tepat dan tidak salah emberi penanganan. Kalau emang alasannya untuk melindungi penyandang cacat, kenapa tidak memikirkan bahwa semua aspek dalam perlalu lintasan ini dibuat dalam bahasa yang lebih positif, misalnya dalam bentuk penyediaan akomodasi bagi penyandang cacat? Bentuk akomodasi misalnya penyediaan tanda khusus pada trotoar, pembuatan ram pada setiap trotoar, penyediaan penanda di setiap perempatan seperti guiding blok dan suara pada lampu penyeberangan? coba di kaji, apa ini ada dalam UU tersebut? Tapi saya kira, kalau kita tanya begitu, pasti jawabannya adalah, itu urusan departemen lain... sering kali UU yang dibuat di Indonesia itu nggak nyambung atau justru tumpang tindih dengan UU yang lain. Saya kira dalam UU tentang penca dan PP tentang aksesibilitas, bentuk akomodasi ini memang nyata tertulis dan seharusnya menjadi acuan bagi munculnya undang-undang yang lain. Saya mengingat sebelum saya berangkat sekolah, saya sempat menghadiri temu konsultasi antara pemda Kodya bandung dengan berbagai unsur dan LSM menyangkut pembenahan kawasan Depati Ukur Bandung. Kala itu, kita sempat berbicara tentang pembentukan kawasan yang aksesible sebagai project percontohan dan pertemuan ini digagas oleh rekan-rekan dari Bandung Independent Leaving Center. Saya kagum dengan pertemuan ini, karena dapat menghadirkan ketua Bapeda, Konsultan pemerintah yang ditunjuk, kalangan akademisi, dinas-dinas terkait, dan kalangan akademisi, dan pertemuan ini bisa terselenggara hingga beberapa kali. Saya belum punya info bagaimana kelanjutan project ini, tapi saya kira pemikiran semacam ini jauh "lebih maju" ketimbang yang lainnya. Saya mengingat bahwa saat itu semua fihak termasuk akademisi, bapeda, PLN dan Telkom (yang sering merusak skema ..hahahaha habis menggali melulu) bisa duduk bersama dan melihat bahwa pembangunan kawasan yang aksesible ini sebenarnya bisa menguntungkan semua. Ini yang lebih penting, "bahwa setiap kebjakan yang menyangkut penyandang cacat, hendaknya juga dibuat setelah mendengar terlebih dahulu masukan atau saran atau pendapat penyandang cacat itu sendiri". Saya berharap ide meloby secara smart ini bisa diteruskan oleh rekan-rekan di Bandung maupun di kota lain..

    Kejadian-kejadian semacam ini sesungguhnya menjadi bukti, bahwa pemahaman tentang arti kecacatan ini memang masih sangat kabur. Dan ini yang saya kira perlu kita luruskan terus. Karena berdasarkan pengalaman, di negara maju yang sudah punya cukup legislasi, punya sistem yang kuat, punya pemerintah yang konsisten, punya kemampuan mengakomodasi penca, bukan berarti serta merta diskriminasi itu hilang. Karena sebenarnya diskriminasi justru muncul dari bagaimana setiap orang meyakini apa yang dipercayanya. Itu sebabnya pendidikan tentang apa arti kecacatan menjadi sangat penting. Kecacatan adalah sebuah kondisi yang mengakibatkan keterbatasan keberfungsian dalam diri seseorang tapi bukan berarti harus diinterpretasi sebagai sebuah "Kelemahan" karena sesunggunya keterbatasan ini bisa diakomodasi hingga menjadi kekuatan, kalau mengacu pada hal ini, apa urgensinya penandaan di badan? Apakah ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk akomodasi atau justru stereotyping? Apakah kita harus tetap membiarkan stereotyping ini berkembang subur? Bukankah selama ini ketika melihat orang pakai tongkat, orang pakai kursi roda, orang yang ngomongnya pakai bahasa isyarat, orang yang lihat langsung memberi lebel orang aneh, bodoh, kurang sehat, atau lainnya? Sekedar sharing dari apa yang saya jumpai di tempat berguru ini (meski of- topic), di mana ketika disability dikaitkan dengan functional limitation, tampaknya orang menjadi tidak terlalu risih dikatakan sebagai orang dengan kecacatan atau person with disability. Di sini penyadaran tentang kesetaraan ini dimulai dari bagaimana orang menyebutkan limitation tersebut.Mereka menamakan gerakan penamaan ini sebagai "person first" movement, di mana ketika kita ingin menyebutkan berbagai jenis kecacatan, maka kita harus terlebih dahulu menyebutkan person sebagai bagian terdepan, misalnya " person with visual impairment, person with hearing impairment, person with diabetic, person with cereberal palcy, person with schyzophrenic, dan sebagainya. Dengan penyebutan person first ini, diharapkan bahwa yang menjadi sorotan bukan pada kecacatannya tetapi pada individunya, dalam artian, bahwa sesungguhnya setiap individu itu punya suatu keterbatasan dalam fungsi, yang dapat diakibatkan oleh banyak faktor, apakah itu penyakit, atau kecacatan itu sendiri. Derajad Keterbatasan fungsi inilah yang kemudian dijadikan acuan dalam membuat berbagai kebijakan ataupun penyediaan berbagai bentuk akomodasi dan fasilitas, yang intinya juga sekaligus menanamkan pemahaman, bahwa setiap orang punya karakteristik kebutuhan yang sangat personal dan tidak bisa digeneralisasi satu dengan lainnya. kalau gerakan ini cukup terbukti memperbaiki stereotype di sini, saya merasa, tidak ada salahnya juga untuk bisa kita pikirkan untuk diterapkan di Indonesia.

    OK, segitu dulu.... thanks untuk si Jack yang lempar topik, nggak hanya karena milist jadi rame, tapi topik ini kemarin jadi bahan presentasiku di kelas tentang media portrei. enaknya karena medianya juga dibuat berbahasa inggris, jadi nggak usah tambah kerjaan terjemahin dulu...hehe. ... Senang mendengar bagaimana professor dan para mahasiswa tertegun, bingung, pusing, marah, sampai bilang apa mahasiswa US juga bisa ikutan kirim petisi ke parlement di Indonesia... hahahahaha. .... Sedih sih ... tapi ini realita kehidupan bangsa kita yang mesti tetap diperjuangkan. ... kalau ada yang seru lagi, kirim ya Jack, misalnya berbagai bentuk media yang mendiskriminasi, atau mungkin tayangan televisi Indonesia yang sangat diskriminatif. O , iya di sini juga lagi rame, karena ada orang tua yang memprotes sebuah stasiun televisi yang menayangkan program "Kid-show" yang menggunakan seorang anak dengan kecacatan fisik menjadi bintang di setiap acara ini. Si orang tua tersebut mendesak agar tokoh anak ini diganti saja, karena setiap acara ini ditayangkan, anaknya selalu bertanya tentang kondisi fisik tokoh tersebut dan dia selalu merasa direpotkan untuk menjelaskan kepada anaknya tentang type kecacatan si bintang tersebut. Nah...bayangkan. ... tetap aja kan diskriminasi itu terjadi di mana-mana? Tapi di sisi lain, ada stasiun TV yang pakai ide menampilkan kecacatan menjadi tayangan dalam film kartun nya. jadi... mari terus belajar mengadvokasi diri dan mengadvokasi hak-hak penca... jangan berhenti dan terus cari ide, apa cara yang paling elegan.... asal jangan pakai cara yang elek (dalam bahasa jawa) ya...:):)

    Warmest Regards
    Tolhas Damanik

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda