• Kembali ke Website Pertuni - www.pertuni.or.id
  • Testimony
  • Berita Tunanetra
  • Blog
  • World Blind Union Publications


  • Jumat, 15 Mei 2009

    [mitra-jaringan] LDK

    teman-teman, LDK yang diadakan oleh DPD PERTUNI Jateng telah berakhir dengan selamat. Ada beberapa hal yang menarik dari kesan CODAS Indonesia sebagai EO yang bekerja sama dengan DPD PERTUNI Jateng untuk menyelenggarakan LDK itu. Pada awal mereka tahu ada tawaran kerja sama dengan DPD PERTUNI Jateng, mereka berpikir bahwa panitianya bukan tunanetra, mereka juga bingung bagaimana caranya agar tunanetra dapat mengikuti outbound.

    Setelah bertemu dengan panitia, pihak CODAS mulai merasa takjub karena tunanetra bisa mengorganisir sebuah organisasi dan mengadakan acara besar. Ketakjuban mereka bertambah saat di lapangan, karena para peserta yang semuanya tunanetra tampak gembira dan bersemangat. Tunanetra tidak nampak kesulitan dalam mengikuti tiap tahap acara. Ada pun terhadap tunanetra ada perlakuan tambahan karena tidak dapat melihat adalah wajar, tetapi selebihnya tidak ada bedanya dengan non tunanetra.

    Di akhir acara pimpinan CODAS Indonesia sangat terharu bahkan terdengar hampir menangis karena pesertanya sangat kompak dan antusias. Beliau mengatakan pengalaman ini sangat mendalam dan hadiah istimewa untuk ulang tahun CODAS Indonesia yang ke-10. Satu kalimat yang sangat dalam beliau ucapkan adalah dia merasa nyaman karena tunanetra tahu kelemahannya tidak dapat melihat tetapi tidak mengganggapnya kekurangan.
    Suryandaru,S.H
    +6281325885858
    ndarusurya@yahoo.co.id ; ndarusurya@gmail.com
    HTTP://www.suryandar.blogspot.com

    Re: [mitra-jaringan] Re: adakah wajib belajar untuk anak tunanetra?

    > Yo, mbak Aria...!!!

    > Banyak 'Fauzi-Fauzi' lain yang pernah saya temui di berbagai daerah di Inonesia ini.Hanya dengan modal semangat tinggi dan (ini yang paling penting juga) cita-cita yang tidak kalah tingginya, anak-anak tersebut mampu bersaing dengan anak-anak lain yang tidak mempunyai gangguan fisik. Mereka hanya bermodalkan bantuan dari tetangga sekitar yang mau embantu anak tersebut.

    > Ada satu kasus seorang anak dengan gangguan pengelihatan, prestasinya di sekolah, sangat luar biasa. Secara personal orang tuanya melakukan pendekatan kepada tetangga dan teman-teman sekolahnya untuk secara bergiliran membacakan buku untuk anak tersebut. Prestasinya tidak hanya secara akademis, namun dia juga banyak mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat, kesenian dan beberapa lomba baca puisi. Namun apa yang terjadi ketika ia lulus SD? SMP Negeri di Kecamatan ia tinggal, tidak mau menerima anak tersebut dengan alasan yang seperti mbak Arya alami. Maklum, di Kecamatan itu memang cuma ada 1 SMP Negri. Pada saat orang tuanya menjelaskan kepada kepsek tentang cara belajar anaknya yang selama ini dikembangkan, sang kepsek tetap tidak mau menerima dengan alasan anak itu akan berhadapan dengan lingkungan yang berbeda. Dan siswa SMP merupakan siswa yang sedang mendcari jati diri. Dikhawatirkkan anak tersebut akan menderita beban mental bila kehadirannya
    > tidak bisa diterima oleh siswa yang lain. Tapi ada yang lucu di sini. 2 hari kemudian, setelah ortu anak tersebut mendaftarkan anaknya, sang Kepsek datang ke rumah dan mengatakan bahwa anak tersebut bisa masuk ke sekolahnya. Setelah diselidiki, ada dua hal yang merubah keputusan sang kepsek. Yang pertama adalah ada issu bahwa akan ada dana tambahan yang akan diberikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten bila sebuah sekolah menerima siswa berkebutuhan khusus. Yang kedua, si kepsek baru mengetahui prestasi non akademis yang pernah diraih oleh anak tersebut. Sekarang anak tersebut sudah menginjak kelas 2 SMP. Tapi saya tidak tau, apakah issu yang pertama tadi terlaksana atau tidak.

    > Kasus kedua dialami oleh seorang anak yang punya gangguan gerak karena Cerebral Palses. Anak tersebut punya prestasi yang baik dan sangat mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Masalah anak tersebut hanya satu. Dia tidak bisa menulis, tetapi dia bisa membuat kata, kalimat bahkan karangan dengan baik. Maklum lagi, di desa occupational teraphy gak ada jadi dia kurang bisa memaksimalkan geraknya. Lalu bagaimana ia menulis? Dengan mengeja apa yang dia tulis dan siswa lain yang menuliskannya. Tapi, anak tersebut tidak bisa melanjutkan ke SMP karena dikategorikan tidak bisa menulis.

    > Betul yang mbak Aria bilang bahwa pemerintah memang kurang serius dalam menjalankan wajib belajar 9 tahun. Kalau kita mau telaah lebih dalam, wajib belajar 9 tahun kan untuk anak Indonesia. Tapi tidak di sebutkan untuk anak yang tidak cacat. Berarti, anak-anak dengan gangguan fisik yang masih dalam usia sekolah juga masuk dalam program ini.

    > Saya pribadi punya pendapat bahwa wajib belajar memang harus dikuatkan dari keluarga anak-anak yang punya gangguan fisik maupun mental. Dan harus dimulai dari penyadaran landasan hukum yang mereka bisa gunakan sebagai 'alat termb=pur' dalam memperjuangkan hak anaknya. Mungkin gak ada salahnya kalau perkumpulan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan tertentu, dibekali oleh pengetahuan UU yang mendukung hak anak untuk sekolah. Setelah itu penguatan berbasis masyarakat yang sadar bahwa setiap anak dilingkungan mereka, punya potensi untuk membantu membangun lingkungan mereka juga. Dengan cara ini, pada saat masyarakat bisa membantu, sejenak kita bisa melupakan screen reader atau buku braille yang mahal-mahal. Saya berpendapat demikian, karena saya merasa, bila makin banyak bukti yang nyata, makin tidak berkutik orang disekitar kita, termasuk pemerintah untuk menolak keberadaan anak dengan gangguan apapun di sekolah.

    > Kelihatannya seperti mimpi, ya... Tapi coba tanya sama Fauzi, kenapa dia mau belajar internet, abacus, dan lain-lain. Saya berani bertaruh, jawabannya pasti karena dia ingin meraih mimpinya.

    > NEVER GIVE UP, GUYS...!!!

    > Keep in touch and keep touching,
    > Blindman Jack

    [mitra-jaringan] adakah wajib belajar untuk anak tunanetra?

    Di Mitra Netra, saat ini Fauzi belajar abacus untuk menumbuhkan mental aritmatikanya serta belajar komputer. Kemampuannya menggunakan komputer tak kalah dengan tunanetra lain yang telah lebih dewasa; word, internet, exel. Beberapa kali kudapati ia asik di depan komputer di lantai dua kantor Mitra Netra, sedang serius mengerjakan tugas-tugas dari instruktur komputernya. Di rumah, orang tua Fauzi juga memfasilitasinya dengan laptop, fauzi memanfaatkannya untuk mengerjakan tugas-tugas dari guru; bahasa Indonesia, IPS, matematika dan lain-lain. Fauzi juga mulai pandai memainkan keyboard. Dalam beberapa acara di sekolahnya, ia acap kali ditugasi mengiringi teman-temannya menyanyi.



    Tapi, berapa banyak anak tunanetra seperti Fauzi? Memiliki orang tua yang secara ekonomi memadai serta mengerti bahwa anak tunanetra juga harus mendapatkan pendidikan yang baik agar kelak bisa memiliki masa depan yang cerah. Ia juga tinggal di Jakarta, di mana ada institusi seperti Mitra Netra, yang secara intensif memberikan dukungan untuk pendidikannya.



    Kita sering mendengar publikasi dilakukan untuk program “wajib belajar sembilan tahun” yang dicanangkan Pemerintah. Tapi, sudahkah “wajib belajar sembilan tahun” ini menyentuh anak-anak tunanetra? Jika ya, 200 sekolah luar biasa (SLB) untuk anak-anak tunanetra di Indonesia tidak akan cukup lagi menampung mereka. Atau, kita jumpai lebih banyak anak-anak tunanetra belajar di sekolah umum seperti Fauzi. Jika anak-anak tunanetra belajar di sekolah umum, berarti seharusnya ada lebih banyak lembaga seperti Mitra Netra di Indonesia, yang menyediakan layanan dan fasilitas khusus yang mereka butuhkan. Berarti pula, Pemerintah menyediakan lebih banyak buku-buku pelajaran dalam huruf Braille, agar siswa tunanetra juga membaca buku seperti teman-teman mereka lainnya saat belajar di kelas.



    Beberapa fakta justru terjadi sebaliknya. Ada saja sekolah yang menolak menerima siswa tunanetra. Alas an yang diberikan antara lain sekolah belum siap, tidak punya fasilitas khusus, atau karena sekolah tersebut adalah “sekolah unggulan” atau “sekolah dengan standar nasional”. Sekolah-sekolah semacam ini berpendapat, kehadiran murid tunanetra dapat menurunkan “pamor mereka”.



    Aku juga mengalaminya sendiri sekian tahun lalu saat mendaftar ke sebuah SMA unggulan di Semarang – SMA Negeri I. Orang tuaku memilihkan sekolah itu untukku karena lokasinya hanya kurang lebih 50 meter dari rumah, jadi aku bisa berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa harus diantar dan dijemput. Tapi, meski nilai yang kumiliki sesungguhnya memenuhi standar sekolah tersebut, Sang Kepala Sekolah awalnya bersikeras menolak, dengan alas an sekolah sedang melakukan pembenahan, dan kehadiran murid tunanetra sepertiku akan mengganggu proses pembenahan itu. Dibutuhkan usaha yang sangat keras kala itu, hingga akhirnya Kepala Sekolah menyetujui dan menerimaku; itu terjadi hanya satu hari sebelum sekolah mulai.



    Sekian tahun kemudian setelah aku menjadi dewasa, aku masih saja menjumpai kejadian serupa.



    Selain penolakan, fasilitas khusus yang dibutuhkan anak tunanetra pun masih sangat terbatas. Buku, yang merupakan pilar utama pendidikan, masih merupakan “barang mewah” bagi tunanetra di Indonesia.



    Statistik memang persoalan besar di negeri ini. Tapi, kita dapat menjadikan hasil survey yang dilakukan Departemen Kesehatan di delapan propinsi tahun 1996 lalu sebagai acuan. Hasil survey itu mengatakan bahwa angka kebutaan di Indonesia adalah satu setengah persen dari jumlah penduduk, --berarti lebih dari tiga juta; Angka yang tidak sedikit. Kita juga tidak tahu persis, dari jumlah itu, berapa persen yang masuk kategori usia sekolah; mungkin 30 % -- berarti lebih dari satu juta, atau bahkan lebih.



    Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2000, tercatat jumlah anak tunanetra usia sekolah yang bersekolah hanyalah 0,87 %. Jadi, selebihnya di mana? Tinggal saja di rumah tak memiliki akses ke pendidikan. Dan, sampai hari ini, belum pernah kudengar ada usaha-usaha secara sistematis yang dilakukan Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membawa lebih banyak anak tunanetra duduk dan belajar di kelas.



    Jika memang “program wajib belajar sembilan tahun” ini berlaku untuk semua anak di Indonesia – termasuk anak-anak tunanetra, perlu ada usaha yang sungguh-sungguh, sistematis dan dengan target capaian yang jelas serta dibarengi monitoring dan evaluasi, agar “wajib belajar sembilan tahun” ini juga menyentuh anak-anak tunanetra.



    Anak tunanetra memang butuh fasilitas khusus. Ini juga berarti membutuhkan biaya yang lebih dibanding anak-anak yang tidak tunanetra. contohnya, untuk membuat satu buku pelajaran dalam huruf Braille, kita membutuhkan biaya tiga sampai empat kali lipat biaya pembuatan buku biasa. Ini karena buku Braille membutuhkan kertas lebih tebal (minimal 120 gram), dan huruf Braille juga berukuran lebih besar. Untuk belajar komputer misalnya, anak tunanetra membutuhkan fasilitas tambahan berupa perangkat lunak pembaca layar. Semua fasilitas itu memang harus dipenuhi, agar anak-anak tunanetra memiliki kesempatan belajar yang sama dengan teman-teman mereka yang tidak tunanetra.



    Saat aku mendengar bahwa Pemerintah menaikkan anggaran pendidikan hingga mencapai 20 % dari keseluruhan APBN, sekilas aku gembira. Tapi, kemudian aku bertanya, apakah anggaran itu juga akan membawa kebaikan untuk anak-anak tunanetra?





    Aria Indrawati