• Kembali ke Website Pertuni - www.pertuni.or.id
  • Testimony
  • Berita Tunanetra
  • Blog
  • World Blind Union Publications


  • Rabu, 14 Oktober 2009

    Hari tongkat putih, mari kita populerkan hari ini di Indonesia...

    mitra-jaringan, Wednesday, October 14, 2009 12:32 PM

    Sejak tahun 2009, di saat saya merasakan lalulintas jakarta semakin kacau, dan yang pernah hampir mencelakai saya karena menyeberang tidak pada saat yang tepat akibat tidak bisa mendengar datangnya motor yang bersuara sangat halus, saya mulai menggunakan "tongkat" terutama saat menyeberang jalan. Di Indonesia, ini bukan hal yang biasa, seorang low vision menggunakan tongkat! Sebagian mungkin bahkan malu!

    Tapi, alhamdulillah itu tidak terjadi pada saya, karena saya mempertimbangkan faktor keamanan diri saya sendiri, di saat harus melakukan mobilitas secara mandiri tanpa dukungan fasilitas publik....

    Sebelum ini, orang tidak pernah bisa mengenali saya sebagai tunanetra, sehingga sering kali bahkan, jika saya minta tolong, mereka melihat saya dengan pandangan aneh! mereka tidak tahu kalau saya low vision....

    Sekarang, setelah saya menggunakan tongkat, selalu ada orang yang menghampiri saya untuk menolong saat menyeberang, atau, pengguna jalan setidaknya bisa memaklumi saya jika saya menyeberang tidak pada saat yang tepat... Jakarta trafic is crazy!

    Jadi, tongkat putihku kini jadi penolong sekaligus pelindungku! Nasehat untuk sesama low vision, ayo! jangan malu pakai tongkat! karena itu membantu....jangan hanya gara-gara malu pakai tongkat membuat para low vision justru takut pergi ke mana-mana sendirian!

    Dengan kita biasa bepergian sendiri, itu juga bisa menjadi salah satu dorongan, betapa pentingnya fasiltas yang aksessibel untuk tunanetra!

    Salam hangat
    Aria.

    Selasa, 13 Oktober 2009

    Hari Tongkat Putih 15 Oktober

    mitra-jaringan, Wednesday, October 14, 2009 11:08 AM

    Hari Tongkat Putih (White Cane Safety Day) 15 Oktober diperingati di seluruh dunia sejak tahun 1964.
    Kemampuan untuk bepergian secara mandiri dengan aman merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang di dalam masyarakat kita. Kita semua ingin sampai ke tujuan secepat mungkin dan seaman mungkin. Ini tidak terkecuali bagi mereka yang tunanetra, yang jumlahnya mencapai lebih dari 160 juta orang di seluruh dunia (termasuk yang low vision dan buta total).
    Sementara teknologi baru telah memungkinkan orang menghubungkan Global Positioning System (GPS) dengan telepon genggam yang dilengkapi dengan software pembaca layar bersuara yang memungkinkan orang tunanetra melakukan navigasi mandiri di tempat-tempat asing, namun teknologi ini belum cocok atau tersedia secara universal atau masih terlalu mahal untuk dapat dinikmati oleh semua orang tunanetra.
    Di sejumlah negara, penggunaan anjing penuntun juga sangat membantu mobilitas warganya yang tunanetra tetapi di kebanyakan negara penggunaan jasa hewan ini pun masih bermasalah.
    Oleh karena itu, bagi sebagian besar orang tunanetra di dunia, tongkat putih masih merupakan alat bantu yang terpenting.
    Tongkat putih juga telah diakui di seluruh dunia sebagai simbol kemandirian orang tunanetra.

    Didi Tarsidi

    Pengalaman terbang bersama Lion Air

    Mitra-Jaringan, Tuesday, October 13, 2009 11:14 AM

    Hari rabu lalu tepatnya pada tgl 7 Oktober 2009 saya menghadiri acara pelatihan komputer untuk tunanetra di Semarang yang diadakan oleh DEPKOMINFO bekerja sama dengan PERTUNI JATENG. Saya dibelikan tiket Lion Air oleh DEPKOMINFO. Perasaan agak ketar-ketir takut ditolak oleh maskapai ketika sampai di bandara, karena saat itu adalah pengalaman pertama melakukan penerbangan sendiri dalam Negeri. Apa lagi baru-baru ini juga ada tunanetra dari medan yang ditolak oleh lion air.

    Sesampai di bandara Sahro seorang yang ditugasi mengantarku ke bandara, langsung mencari salah seorang staf bandara. Salah seorang staf yang ditemui langsung mengatakan kepada Sahro: "Biar saya saja yang bantu." Saya langsung di bawa ke checking counter, tak lama kemudian salah seorang staf di checking counter mengatakan kepada staf bandara yang membawaku ke checking counter: "Biar nanti sama saya, karena anda tidak boleh sampai ke ruang tunggu." Tak lama kemudian staf checking counter membantuku untuk membayar boarding pass. Setelah semua administrasi selesai, saya diantar ke ruang tunggu. Kira-kira 45 menit kemudian terdengar pengumuman yang mengatakan bahwa penumpang pesawat lion air dengan nomor penerbangan 507 diminta masuk ke pesawat. Saya tunggu beberapa saat namun belum ada juga yang mendatangiku untuk naik ke pesawat. Akhirnya saya mencoba mencari petugas untuk memastikan bahwa panggilan yang baru saya dengar adalah untuk pesawat yang akan saya tumpangi sambil menunjukkan boarding pass dan tiket pesawat saya. Petugas itu langsung membantuku karena memang benar kalau panggilan yang terakhir saya dengar adalah untuk pesawat yang akan saya tumpangi.

    Di dalam pesawat para kru menyambutku dengan sangat baik. Saya sempat diajari bagaimana mengambil baju plampung dan memakainya serta menunjukkan tombol yang digunakan untuk memanggil kru pesawat. Saya mengira kru pesawat itu juga akan meminta tanda tangan seperti pernah saya alami pada penerbangan lion sebelumnya, tapi ternyata tidak.

    Terimakasih Lion Air, semoga demikianlah pelayanan Lion air dan maskapai lainnya kepada tunanetra.

    Tolong pesan ini disampaikan kepada lion air jika ada diantara anda yang dapat melakukannya.

    Sugiyo

    Jurusan apa yang cocok bagi tunanetra?

    Mitra-Jaringan, Tuesday, August 25, 2009 12:16 PM

    Aku sangat berharap bahwa generasi penyandang cacat Indonesia abad 21 haruslah generasi penyandang cacat yang tangguh dan siap menanggung resiko untuk mengadvokasi dirinya. Saya sangat kagum pada teman-teman selalu berani mencoba dan mencoba. Saya tahu bahwa misalnya untuk berani mengambil resiko dalam memilih jurusan itu nggak mudah, ditambah lagi kesempatan yang kita miliki di Indonesia memang sangat-sangat terbatas. Saya ingin sekali mengatakan, just make your decition and go, just do it...!!! Dengan filosofi ini, kita akan menjadi generasi pendobrak yang efektif, sekaligus kreatif, karena kita akan terpaksa menjadi kreatif dan menemukan solusi untuk setiap masalah yang kita hadapi, agar bisa survive.

    Pendidikan di Indonesia memang cenderung membuat kita hanya menghargai hasilnya ketika menjadi sama seperti orang lain. Misalnya, kalau kita kuliah di psikologi, maka yang terbayang ketika kita lulus nanti adalah menjadi psikolog. Ini pula yang banyak diamini para dosen, sehingga mereka melihat proses belajar itu begitu sempit. Sehingga, ketika seorang tunanetra yang masuk psikologi tidak bisa mengerjakan perangkat test psikologi hanya karena dia tidak melihat, maka si dosen akan mengatakan tamatlah riwayatmu. Si dosen tidak pernah berpikir, bahwa jurusan psikologi itu tidak hanya sekedar menghasilkan seorang ahli psikotest. Dia juga bisa jadi pekerja sosial, bisa bekerja sebagai HRD, bisa menjadi konsultan pendidikan, bisa jadi dosen, atau minimal bisa jadi bapak atau ibu yang baik buat anak-anaknya.....

    Lagi-lagi ini cerita dari pengalaman ku di sini: quarter kemarin aku ambil mata kuliah Clinical Assessmen of Children and adolescent. Dari nama mata kuliah ini, terbayang sudah bahwa kita akan melakukan assessmen klinis tentang anak, khujsusnya berwujud assessmen terhadap prilakunya. Lebih lanjut terbayang bahwa kita akan melakukannya dengan sepenuhnya mengandalkan mata, karena kalau kita berbicara terapi behavior, tentunya diperlukan ketelitian menangkap setiap prilaku yang muncul, frekuensi , situasi pemicu, dan sebagainya. Mendengar nama kuliah ini, aku sudha cemas duluan, wah... gimana caranya melakukannya? Lebih lagi yang difokuskan untuk kuliah ini adalah perilaku anak ADHD dan anak dengan autisme. Dalam kebingunganku, akhirnya aku memberanikan diri menghampiri professorku dan bertanya apakah aku harus ikut mata kuliah ini? Melihat aku yang bingung, si professor hanya menjawab santai," kalau kamu mau menjadi seorang behavior terapis, apakah kamu juga harus terjun langsung mengobservasi anak? bukankah sebnarnya yang dibutuhkan adalah kerja sama tim karena observasi hendaknya dilakukan oleh banyak orang? Bukankah kamu bisa membangun diagnosa dan treatment planning berdasarkan report yang kau terima dari tim kerjamu? bukankah sebenanrya kamu tetap bisa bekerja dengan anak atau klienmu berdasar pada sekumpulan data yang dikerjakan oleh observer, karena dengan kondisi lebih dari satu, maka akan terjamin validitasnya? Bukankah dalam rangka penanganan, kamu bisa bertindak sebagai leader dan konsultan yang memberi advice, sementara pelaksananya bisa guru, bisa orang tua, bisa shadow teacher, bisa co -worker dan sebagainya? " Mendengar jawaban itu, aku cuma bisa terdiam dan senyum-senyum sendiri... Ternyata cara pikirku ini pendek sekali hanya karena aku terlalu fokus pada keterbatasanku...:)

    Mudah-mudahan ceritaku ini bermanfaat untuk membuat kita tidak sekedar fokus pada titik lemah yang kita miliki. Perlu memang mengetahui kelebihan dan kekurangan, tapi itu tidak harus membuat kita menjadi patah.....

    Salam
    Tolhas Damanik