• Kembali ke Website Pertuni - www.pertuni.or.id
  • Testimony
  • Berita Tunanetra
  • Blog
  • World Blind Union Publications


  • Minggu, 28 Juni 2009

    Re: [mitra-jaringan] ketua umum pertuni terpilih

    Saya mengucapkan selamat untuk Pak Didi dan rekan-rekan yang telah melaksanakan munas hingga mencapai kesuksesan. Saya kira sudah banyak perkembangan yang dicapai oleh pertuni dari kepengurusan yang sebelumnya. Salah satu yang menarik adalah terlaksananya kaderisasi dan peningkatan kualitas program dari pertuni sendiri. Dan saya yakin, bahwa ini baru awal, sehingga di masa yang akan datang, di masa kepemimpinan Pak Didi yang kedua, kita akan melihat lagi berbagai kemajuan untuk tunanetra. Sebagai anggota pertuni cabang luar negeri (hehehe....untuk sementara:):) saya berharap bahwa pertuni akan terus mengusung isyu-isyu strategis dalam rangka mengkokohkan posisinya sebagai ormas ketunanetraan. Saya sependapat jika seandainya keanggotaan cacat ganda juga bisa diakomodir. Selain itu, saya juga berharap bahwa pemerataan kemajuan tunanetra juga bisa terjadi di semua wilayah di Indonesia... tentunya juga yang tak kalah penting adalah fungsi advokasi dalam rangka memperjuangkan hak-hak tunanetra di berbagai bidang..

    Salam
    Tolhas Damanik

    JK Buka Munas Persatuan Tunanetra Indonesia

    Ketua Tunanetra: Lebih Cepat Lebih Baik
    Penyandang cacat ingin pemerintah cepat meratifikasi Konvensi Internasional.
    VIVAnews - Senin, 22 Juni 2009, 12:47 WIB - Ismoko Widjaya, Bayu Galih

    Wakil Pemerintah harus tetap memperhatikan akses publik dan fasilitas untuk tunanetra. Tunanetra juga punya kesempatan yang sama di berbagai bidang. Salah satunya adalah hak untuk dapat mendapatkan pendidikan umum.

    "Masih ada yang menganggap tunanetra perlu pendidikan khusus. Tapi tunanetra juga bisa mendapatkan pendidikan umum," kata Jusuf Kalla (JK) saat membuka Musyawarah Nasional VII, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 22 Juni 2009.

    Saat ini, kata JK, tidak ada maksud sengaja bagi masyarakat untuk diskriminasi. "Karena itu perlu sosialisasi tentang hak-hak tunanetra," ujar JK.

    JK juga mengharapkan para penyandang tunanetra dapat meneladani penyandang cacat yang telah berhasil. Beberapa nama kemudian disebut Kalla, antara lain Stevie Wonder, bekas menteri pendidikan Mesir Thoha Husein.

    "Yang terpenting, di Indonesia kita pernah memiliki presiden yang kurang memiliki penglihatan, " kata JK.

    Ketua Umum Pertuni, Didi Tarsidi, mengatakan diskriminasi masih dirasakan penyandang tunanetra. Karena itu Pertuni ingin pemerintah cepat melakukan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Penyandang Cacat. akhir. "Lebih cepat lebih baik," kata Didi yang langsung disambut riuh para audiens yang hadir.

    ismoko.widjaya@ vivanews. com
    *****

    wah wah wah. qo munas pertuni disusupi kepentingan politik seperti itu ya? di munas itu, Pak JK dalam kapasitas sebagai wapres RI atau capres 2009???


    Sincerelly yours,

    Dimas Prasetyo M.
    ****

    Tidak, Munas tidak disusupi kepentingan politik, tapi dapat dimanfaatkan secara politis. JK diundang untuk membuka Munas dalam kapasitasnya sebagai Wapres.

    Dalam sambutan saya, saya mengatakan sbb.
    "Tema Munas ini dijiwai oleh Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat. Indonesia sudah menandatanganinya tetapi belum meratifikasinya. Kami tahu bahwa ratifikasi itu sedang dalam proses, tetapi kami merasa bahwa proses itu terlalu lambat. Dalam kesempatan ini kami memohon agar Bapak Wakil Presiden berkenan mendorong agar ratifikasi dapat dilaksanakan secepatnya, lebih cepat lebih baik."

    Frase yang terakhir ini mendapat sambutan riuh dari audience, dan ada juga banyak di antara mereka yang berseru, "lanjutkan!"

    Didi Tarsidi

    Sabtu, 27 Juni 2009

    [mitra-jaringan] ketua umum pertuni terpilih

    Dear members,
    Saya Aria Indrawati, mantan Ketua Panitia Pengarah musyawarah nasional VII Pertuni 2009, memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas kesuksesan yang Pertuni raih dalam penyelenggaraan Munas VII, yang berlangsung pada tanggal 22 s/d 24 Juni 2009, di wisma haji pondok gede.

    Lembaga tertinggi Munas Pertuni kembali memilih, senior kita tercinta, Pak Didi Tarsidi, sebagai Ketua Umum masa bakti 2009 -- 2014.

    Untuk diketahui, Munas Pertuni kali ini adalah Munasnya kaula muda, -- tanpa mengurangi hormat kita pada para senior, presidium Munas sepenuhnya adalah generasi muda. Sebagai ketua panitia pengarah, saya sangat bangga atas prestasi ini!

    Kesuksesan Munas VII juga merupakan persembahan untuk dua aktivis tunanetra yang wafat saat mengemban tugas menyiapkan munas VII Pertuni, yaitu Pak Dati dan Pak Dadang almarhum.

    Pak Didi, kita semua tunanetra Indonesia ada bersamamu, memperjuangkan aspirasi tunanetra di negeri ini!

    Sukses Pertuni! sukses perjuangan tunanetra Indonesia!

    Salam hangat
    Aria Indrawati

    Senin, 15 Juni 2009

    Re: [mitra-jaringan] Bermula dari kasus wijaya

    Undang-undang Guru dan Dosen

    "Pasal 8
    Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional."

    Penjelasan:
    "Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat."

    Pasal 45

    "Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional."

    Penjelasan:
    "Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat."

    Di dalam undang-undang ini kata "cacat" hanya disebut dua kali sebagaimana dikutipkan di atas.

    Didi Tarsidi

    [mitra-jaringan] Bermula dari kasus wijaya

    dear Mitra Jaringan

    Baru saja saya mendengar bahwa sekarang didalam brosur fakultas tarbiah UIN dituliskan bahwa untuk calon mahasiswa cacat tidak bisa mendaftar dalam fakultas ini. Kabar ini saya terima dari Pak Abas Sukardi seorang guru agama SLBA pembina tingkat nasional Lebak bulus yang menyimpan brosur tersebut.

    Sejauh ingatan saya sekitar tahun 1986-an SGPLB juga pernah ditutup untuk tunanetra. Katanya karena seorang guru tidak boleh cacat.

    Yang menjadi pertanyaan saya apakah itu memang tercantum didalam Undang-undang keguruan, atau ini hanya prospektif masing-masing pihak. Bagi Anda yang memahami peraturan masalah keguruan tolong dijawab.

    Jika larangan seorang guru tidak boleh cacat itu tercantum dalam peraturan yang resmi maka tugas kita bersama adalah memperjuangan agar undang-undang itu harus diubah. Namun jika itu karena semata-mata prospektif dari pihak UIN, maka tugas kita adalah melakukan pendekatan kepada UIN.

    Beberapa alasan yang mungkin bisa dimajukan adalah:

    1. Jika ada seorang guru tunanetra yang benar-benar menguasai satu bidang studi tertentu, umumnya seorang tunanetra lebih nyaman diajar sesama tunanetra.

    2. Untuk mata pelajaran tertentu seperti misalnya pendidikan agama islam biasanya seorang tunanetra lebih menguasai khususnya untuk arab braille. Saya pernah belajar di SLBA pemalang tidak mendapat pelajaran Arab Braille karena guru agama yang mengajar waktu itu orang awas dan tidak menguasai Arab Braille, bahkan Huruf Braille biasa Beliau tidak menguasai. Namun begitu disini saya tidak berpendapat bahwa tidak ada orang awas yang menguasai arab braille. Namun jika guru agamanya seorang tunanetra secara moral lebih mempunyai tanggungjawab.

    3. Dengan teknologi yang memadai seorang tunanetra dimungkinkan untuk berkopentensi dengan orang yang awas, meskipun harus mengajar orang awas.

    Sugiyo

    Senin, 01 Juni 2009

    Re: [mitra-jaringan] Re: Indonesia asks disabled pedestrians to wear signs

    Rekan -rekan, saya kira kita bisa melihat masalah ini dari beberapa sisi. Kalau kita mau melihat tujuannya, positif thinking, mungkin saja maksudnya adalah untuk keamanan dan kenyamanan para penca di dalam perjalanan. Tapi ini kan baru asumsi, kita tidak pernah mengerti apa maksud si pengusul, baik dari pemerintah sebagai pengusul undang-undang, maupun dari anggota dewan yangkemudian mengesahkannya. Tapi saya kira, kita mesti melihat aspek yang lebih luas dari sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan negara dalam rangka mengakomodasi kebutuhan rakyatnya. Ketika memang alasannya adalah dalam rangka menciptakan keamanan dan kenyamanan para penca (anggap saja begitu) tapi di sisi lain, kebijakan ini juga mengandung unsur "pelemahan" atau "pencederaan" terhadap jati diri seseorang, karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau jadi cacat. Artinya adalah, bahwa setiap kebijakan yang dibuat, hendaknya memperhatikan banyak hal, buat apa satu kebijakan dibuat, tapi di sisi lain menimbulkan perendahan terhadap martabat orang lain khususnya penyandang cacat? Apa kalau lihat si Jaka atau si Aris, atau si Dimas, atau si Tolhas pakai tongkat masih harus diperjelas lagi kalau orang-orang itu memang cacat? Apa lagi kalau sampai pakai menyinggung mimik muka untuk mengganti identitas rekan rekan dengan down-syndrom wah-wah... itu betul-betul stereotyping yang mengandung pelecehan... . Satu hal lagi yang saya sesalkan adalah, pembuatan tanda-tanda khusus apa lagi yang melekat di badan semacam itu juga akan memperkuat stereotype negatif terhadap penyandang cacat, yang sebenarnya hingga saat ini saja di Indonesia belum hilang. penandaan seperti ini akan membuat stereotype bahwa penyandang cacat itu identik dengan lemah menjadi akan semakin terkonfirmasi. Sejauh yang saya tahu, penandaan di badan semisal dalam bentuk gelang memang dapat diberlakukan pada kasus orang-orang dengan penyakit tertentu, yang memungkinkan terjadinya kegawatan/kekambuha n di tempat umum, semisal karena suatu penyakit atau kelainan darah, seseorang harus mengenakan tanda, supaya bila terjadi kecelakaan atau emergency, orang yang menemukan atau fihak rumah sakit, bisa mengambil tindakan yang tepat dan tidak salah emberi penanganan. Kalau emang alasannya untuk melindungi penyandang cacat, kenapa tidak memikirkan bahwa semua aspek dalam perlalu lintasan ini dibuat dalam bahasa yang lebih positif, misalnya dalam bentuk penyediaan akomodasi bagi penyandang cacat? Bentuk akomodasi misalnya penyediaan tanda khusus pada trotoar, pembuatan ram pada setiap trotoar, penyediaan penanda di setiap perempatan seperti guiding blok dan suara pada lampu penyeberangan? coba di kaji, apa ini ada dalam UU tersebut? Tapi saya kira, kalau kita tanya begitu, pasti jawabannya adalah, itu urusan departemen lain... sering kali UU yang dibuat di Indonesia itu nggak nyambung atau justru tumpang tindih dengan UU yang lain. Saya kira dalam UU tentang penca dan PP tentang aksesibilitas, bentuk akomodasi ini memang nyata tertulis dan seharusnya menjadi acuan bagi munculnya undang-undang yang lain. Saya mengingat sebelum saya berangkat sekolah, saya sempat menghadiri temu konsultasi antara pemda Kodya bandung dengan berbagai unsur dan LSM menyangkut pembenahan kawasan Depati Ukur Bandung. Kala itu, kita sempat berbicara tentang pembentukan kawasan yang aksesible sebagai project percontohan dan pertemuan ini digagas oleh rekan-rekan dari Bandung Independent Leaving Center. Saya kagum dengan pertemuan ini, karena dapat menghadirkan ketua Bapeda, Konsultan pemerintah yang ditunjuk, kalangan akademisi, dinas-dinas terkait, dan kalangan akademisi, dan pertemuan ini bisa terselenggara hingga beberapa kali. Saya belum punya info bagaimana kelanjutan project ini, tapi saya kira pemikiran semacam ini jauh "lebih maju" ketimbang yang lainnya. Saya mengingat bahwa saat itu semua fihak termasuk akademisi, bapeda, PLN dan Telkom (yang sering merusak skema ..hahahaha habis menggali melulu) bisa duduk bersama dan melihat bahwa pembangunan kawasan yang aksesible ini sebenarnya bisa menguntungkan semua. Ini yang lebih penting, "bahwa setiap kebjakan yang menyangkut penyandang cacat, hendaknya juga dibuat setelah mendengar terlebih dahulu masukan atau saran atau pendapat penyandang cacat itu sendiri". Saya berharap ide meloby secara smart ini bisa diteruskan oleh rekan-rekan di Bandung maupun di kota lain..

    Kejadian-kejadian semacam ini sesungguhnya menjadi bukti, bahwa pemahaman tentang arti kecacatan ini memang masih sangat kabur. Dan ini yang saya kira perlu kita luruskan terus. Karena berdasarkan pengalaman, di negara maju yang sudah punya cukup legislasi, punya sistem yang kuat, punya pemerintah yang konsisten, punya kemampuan mengakomodasi penca, bukan berarti serta merta diskriminasi itu hilang. Karena sebenarnya diskriminasi justru muncul dari bagaimana setiap orang meyakini apa yang dipercayanya. Itu sebabnya pendidikan tentang apa arti kecacatan menjadi sangat penting. Kecacatan adalah sebuah kondisi yang mengakibatkan keterbatasan keberfungsian dalam diri seseorang tapi bukan berarti harus diinterpretasi sebagai sebuah "Kelemahan" karena sesunggunya keterbatasan ini bisa diakomodasi hingga menjadi kekuatan, kalau mengacu pada hal ini, apa urgensinya penandaan di badan? Apakah ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk akomodasi atau justru stereotyping? Apakah kita harus tetap membiarkan stereotyping ini berkembang subur? Bukankah selama ini ketika melihat orang pakai tongkat, orang pakai kursi roda, orang yang ngomongnya pakai bahasa isyarat, orang yang lihat langsung memberi lebel orang aneh, bodoh, kurang sehat, atau lainnya? Sekedar sharing dari apa yang saya jumpai di tempat berguru ini (meski of- topic), di mana ketika disability dikaitkan dengan functional limitation, tampaknya orang menjadi tidak terlalu risih dikatakan sebagai orang dengan kecacatan atau person with disability. Di sini penyadaran tentang kesetaraan ini dimulai dari bagaimana orang menyebutkan limitation tersebut.Mereka menamakan gerakan penamaan ini sebagai "person first" movement, di mana ketika kita ingin menyebutkan berbagai jenis kecacatan, maka kita harus terlebih dahulu menyebutkan person sebagai bagian terdepan, misalnya " person with visual impairment, person with hearing impairment, person with diabetic, person with cereberal palcy, person with schyzophrenic, dan sebagainya. Dengan penyebutan person first ini, diharapkan bahwa yang menjadi sorotan bukan pada kecacatannya tetapi pada individunya, dalam artian, bahwa sesungguhnya setiap individu itu punya suatu keterbatasan dalam fungsi, yang dapat diakibatkan oleh banyak faktor, apakah itu penyakit, atau kecacatan itu sendiri. Derajad Keterbatasan fungsi inilah yang kemudian dijadikan acuan dalam membuat berbagai kebijakan ataupun penyediaan berbagai bentuk akomodasi dan fasilitas, yang intinya juga sekaligus menanamkan pemahaman, bahwa setiap orang punya karakteristik kebutuhan yang sangat personal dan tidak bisa digeneralisasi satu dengan lainnya. kalau gerakan ini cukup terbukti memperbaiki stereotype di sini, saya merasa, tidak ada salahnya juga untuk bisa kita pikirkan untuk diterapkan di Indonesia.

    OK, segitu dulu.... thanks untuk si Jack yang lempar topik, nggak hanya karena milist jadi rame, tapi topik ini kemarin jadi bahan presentasiku di kelas tentang media portrei. enaknya karena medianya juga dibuat berbahasa inggris, jadi nggak usah tambah kerjaan terjemahin dulu...hehe. ... Senang mendengar bagaimana professor dan para mahasiswa tertegun, bingung, pusing, marah, sampai bilang apa mahasiswa US juga bisa ikutan kirim petisi ke parlement di Indonesia... hahahahaha. .... Sedih sih ... tapi ini realita kehidupan bangsa kita yang mesti tetap diperjuangkan. ... kalau ada yang seru lagi, kirim ya Jack, misalnya berbagai bentuk media yang mendiskriminasi, atau mungkin tayangan televisi Indonesia yang sangat diskriminatif. O , iya di sini juga lagi rame, karena ada orang tua yang memprotes sebuah stasiun televisi yang menayangkan program "Kid-show" yang menggunakan seorang anak dengan kecacatan fisik menjadi bintang di setiap acara ini. Si orang tua tersebut mendesak agar tokoh anak ini diganti saja, karena setiap acara ini ditayangkan, anaknya selalu bertanya tentang kondisi fisik tokoh tersebut dan dia selalu merasa direpotkan untuk menjelaskan kepada anaknya tentang type kecacatan si bintang tersebut. Nah...bayangkan. ... tetap aja kan diskriminasi itu terjadi di mana-mana? Tapi di sisi lain, ada stasiun TV yang pakai ide menampilkan kecacatan menjadi tayangan dalam film kartun nya. jadi... mari terus belajar mengadvokasi diri dan mengadvokasi hak-hak penca... jangan berhenti dan terus cari ide, apa cara yang paling elegan.... asal jangan pakai cara yang elek (dalam bahasa jawa) ya...:):)

    Warmest Regards
    Tolhas Damanik

    [mitra-jaringan] Re: Indonesia asks disabled pedestrians to wear signs

    Yo, Everyone...!!!

    Check out the link below and see what you think. If this one don't work, there's another link below.

    Indonesia asks disabled pedestrians to wear signs
    http://asia.news.yahoo.com/afp/20090527/tls-indonesia-transport-disabled-health-aeafa1b.html


    Yang pasti ini terjadi karena tidak ada komunikasi atau informasi yang mamadai antara pemerintah dengan subyek. Sehingga keluarlah peraturan sebodoh ini.
    Saya yakin, pemerintah bermaksud baik, namun banyak sisi yang tidak dipahami oleh pemerintah yang tidak dilihat atau tidak dijadikan pertimbangan oleh
    mereka.

    Beberapa hal diantaranya antara lain:
    1. sebagian besar penyandang cacat sudah mempunyai alat bantu yang sangat mudah dikenali dan digunakan juga sebagai identitas mereka seperti memakai kursi
    roda, tongkat putih, tongkat bahu atau siku, kacamata hitam dan lain-lain. Secara fisik pun ada sebagian daari mereka yang mempunayi ciri fisik yang unik
    seperti facial expression (orang-orang dengan gangguan kecerdasan), berkaki bengkok, bertangan satu, (orang dengan gangguan gerak), atau berbola mata kusam
    atau menonjol keluar. Dengan adanya identitas seperti ini, masih perlukah identitas tambahan bagi mereka?
    2. Untuk kasus low vision dan gangguan pendengaran, ciri fisik dan alat bantu memang kadang tidak tampak secara jelas. Namun ini akan terlihat dari perilaku
    mereka misalnya bejalan sangat pelan atau berbicara dengan tidak jelas. Bila masyarakat memperhatikan gejala-gejala tersebut, maka sensitifitas masyarakat
    akan bertambah karena bisa mengenali kebutuhan seseorang dari segi fisiknya. Kalau mereka diberi tanda khusus, bukan tidak mungkin masyarakat yang tidak
    tahu banyak tentang masalah kecacatan malah akan menghindari mereka. Alasannya? Takut salah kalau membantu, gak mau repot, bahkan ada juga yang takut ketularan.
    Jadi, masih perlu dikasih tanda?
    3. Bila tanda diberikan kepada penyandang cacat, sallh satu faktor yang tidak diperhatikan adalah unsur psikologis dari penyandang cacat tersebut. sekelas
    aktivis yang mempunyai track record yang sudah luar biasa, bulak-balik ke luar negeri dan berbicara di depan ratusan publik saja masih merasa jengah bila
    diliatin terus-menerus oleh orang disekililingnya. Bagaimana dengan anak-anak kecil atau orang yang baru mengalami kecacatan karena ppenyakit atau kecelakaan?
    Hal ini hanya akan membuat penyandang cacat menjadi pusat perhatian saja, namun tidak terjadi tindakan bantuan yang diperlukan oleh masyarakat.
    4. Dikondisi tertentu penandaan kepada penyandang cacat memang diperlukan. Menurut saya pribadi, yang paling diperlukan adalah saat berkendaraan. Mengapa?
    Karena pada saat seorang penyandang cacat mengemudikan kendaraan, ciri fisik mereka tidak lagi terlihat. Oleh sebab itu pemasangan tanda di helm atau kaca
    mobil memang saya pikir sangat penting. Secara Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia ini lalu lintasnya cenderung semrawut. Seorang pengemudi pengguna
    kursi roda yang bisa nyetir pernah bercerita pada saya. Bahwa di jalan, sering kali ia diklaksonin mkrolet, bis-bis dan pengendara lain. Pada saat ia menempelkan
    sticker kursi roda di kaca belakang mobilnya. Jumlah pengendara yang menklaksonnya berkurang. Tapi masih ada saja yang berbuat demikian, atau menyalip
    dengan tiba-tiba. Lalu dia putuskan untuk menempel sticker bertuliskan " Sopir Cacat". Dan kejadian-kejadian di atas tidak pernah terjadi lagi.

    Dah capek nulisnya... Ada yang mau komentar?


    Keep in touch and keep touching,

    Blindman Jack